"Lewat tulisan, kita bisa mengubah kehidupan"

REFLEKSI 25 JANUARI: REHABILITASI GIZI DAN MAKANAN DI BUMI PERTIWI

 Rabu (25/1) diperingati sebagai Hari Gizi dan Makanan. Lalu,  bagaimanakah cara yang tepat untuk memperingatinya? Yang pasti bukan dengan upacara bendera seperti peringatan tujuhbelasan. Lebih tepat jika momentum ini dimaknai sebagai pijakan untuk merehabilitasi kondisi gizi dan makanan di Indonesia.
Berdasarkan keterangan yang dilansir dari  Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk sejak tahun 1989-2010 mengalami  penurunan. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9% dan gizi buruk menjadi 4.9%. Dari data pencapaian inilah  pemerintah optimis bisa menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tahun 2014 sebesar 15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk.
Faktanya, prevalensi gizi buruk sebesar 4.9% berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat. Kasus gizi buruk dan gizi kurang ini masih marak di beberapa daerah. Sebut saja kota Banten. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten menunjukkan bahwa persentase jumlah penderita gizi buruk ini mengalami peningkatan sebesar 0,09 persen atau 9.378 balita pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010 sebesar 1,04 persen atau sekitar 8.737 balita gizi buruk dari 839.857 balita terpantau. 
Buruknya kondisi gizi ini erat kaitannya dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Makanan yang dikonsumsi sangat minim nutrisi. Hal ini  banyak dialami oleh keluarga-keluarga  yang hidup di bawah garis kemiskinan. Harga pangan yang terus naik ibarat tali yang mencekik leher mereka perlahan-lahan. Di satu sisi, mereka butuh makan. Di sisi lain, kondisi perekonomian yang jauh dari kata cukup  membuat mereka tak sanggup membelinya. Alhasil, banyak orang yang terpaksa mengkonsumsi makanan layak buang. Fenomena nasi aking adalah bukti tak terbantahkan dari kondisi mengenaskan tersebut.
Bila kembali pada optimisme pemerintah untuk menurunkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, banyak aspek yang perlu dibenahi. Pertama, optimalisasi program ASI eksklusif. Bukan hal yang baru jika manfaat ASI jauh lebih baik dibandingkan dengan susu formula. Kenyataannya, banyak ibu yang kurang sadar arti pentingnya menyusui. Padahal, ASI sangat penting untuk menciptakan ketahanan fisik, ketahanan penyakit, serta peningkatan intelegensi. Sosialisasi yang komprehensif tentang manfaat ASI harus digalakkan untuk membangkitkan kembali semangat menyusui para ibu.
Ketiga adalah peningkatan kualitas pangan untuk masyarakat kurang mampu. Harus diupayakan berbagai makanan potensial yang mengandung banyak nutrisi. Misalnya, umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat. Selain itu, keterjeratan dalam kemiskinan menyebabkan kesulitan untuk membeli makanan yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu disediakan pasar murah khusus keluarga tidak mampu. Pengontrolan pasar ini harus  benar-benar ketat untuk menghindari adanya keluarga-keluarga yang sengaja memiskinkan diri untuk bisa membeli makanan dengan harga murah.
Ketiga, program sidak posyandu. Dalam kinerja yang biasa, posyandu bertugas memantau kesehatan anak yang dibawa ke lokasi pemeriksaan. Nyatanya, banyak kaum ibu yang berhalangan memeriksakan anaknya karena sibuk bekerja atau adanya faktor penghalang yang lain. Program sidak ini bertujuan untuk mengantisipasi hal tersebut. Petugas kesehatan perlu terjun langsung untuk memeriksa kesehatan, khususnya kondisi gizi masyarakat.
Rehabilitasi. Hanya inilah kata yang tepat untuk memperingati Hari Gizi dan Makanan. Jangan sampai muncul ide untuk  melakukan prosesi pengibaran bendera setengah tiang sebagai representasi atas buruknya kondisi gizi di Indonesia. 

¡Compártelo!

0 comments:

Posting Komentar

Buscar

 
BENITORAMIO Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger