"Lewat tulisan, kita bisa mengubah kehidupan"

MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA: MAHASISWA, MANA KONTRIBUSIMU?

Bicara tentang mahasiswa, anda akan disuguhi tentang berbagai macam aksi heroik yang pernah mereka lakukan untuk merestorasi kehidupan bangsa Indonesia. Masih segar dalam ingatan ketika para mahasiswa merobohkan rezim Orde Baru pada 1998 lalu. Aksi tersebut bahkan harus dibayar dengan terbunuhnya 4 orang mahasiswa Trisakti yang kerap disebut Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa tersebut adalah

  • Elang Mulya Lesmana, Teknik Arsitektur ‘96
  • Hafidin Royan, Teknik Sipil ‘95
  • Hendiawan Sie, Manajemen ‘96
  • Hery Hartanto, Teknik Mesin ‘95
      Ternyata, aksi heroik mahasiswa tidak berhenti sampai di situ saja. Aksi tersebut tidak berhenti sampai di situ. Sekarang pun mereka masih banyak melakukan aksi turun ke jalan sebagai ungkapan kekecewaan atau kecaman terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat kecil. Sebut saja demontrasi yang digelar untuk mengecam kenaikan harga BBM pada maret lalu. Mereka menyatakan ketidaksetujuan karena menilai bahwa kebijakan tersebut tidak mementingkan nasib rakyat kecil.
Agent of Change (okezone.com)

      Bila melihat berbagai macam kontribusi yang dilakukan oleh mahasiswa, tidak berlebihan jika mereka seringkali disebut sebagai agent of change untuk bangsa Indonesia. 

      A.    MAHASISWA, RIWAYATMU KINI
      Kembali bicara tentang mahasiswa, sudah cukup kalau kita membahas tentang aksi heroik yang mereka lakukan. Aksi turun ke jalan? Oke. Demontrasi? Oke. Namun, cukupkah hanya itu saja? Cukupkah kontribusi mereka hanya sebatas pada itu-itu saja? Tidak. Mereka dituntut lebih dari sekedar itu.
      
      Seiring perkembangan jaman, tuntutan masyarakat terhadap kontribusi mahasiswa semakin besar. Mereka ditantang untuk menyingsingkan lengan demi memajukan bangsa. Mereka dituntut untuk mendedikasikan diri di berbagai bidang sesuai dengan ranah keilmuan yang ditekuninya. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tuntutan tersebut. Pertama, mahasiswa dinilai sebagai generasi muda yang memiliki SDM lebih baik dibandingkan dengan remaja seumuran yang hanya lulusan SMA. Mahasiswa juga berasal dari berbagai jurusan yang diharapkan bisa mendedikasikan ilmunya untuk memajukan, mengubah, dan memperbaiki bidang-bidang kemasyarakatan dan kenegaraan. Kedua, usia mahasiswa masih relatif muda. Inilah kelebihan mahasiswa bahwa mereka masih memiliki jalan yang panjang untuk berkontribusi bagi bangsa. Usia yang muda juga berarti tubuh yang bugar dan tenaga yang kuat sehingga mereka bisa mengoptimalkannya untuk melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

      Sungguh, harapan masyarakat begitu besar atas kehadiran mahasiswa sebagai agent of change untuk memajukan bangsa Indonesia. Namun, apakah harapan tersebut akan terwujud? Ada baiknya kalau kita tengok sejenak kondisi mahasiswa jaman sekarang.

MAHASISWA SEKARANG BERPOLA HIDUP HEDONISME
h    Hedonisme lekat dengan pengertian bahwa hidup adalah kesenangan semata. Kesenangan tersebut selanjutnya diwujudkan dengan sikap foya-foya, sok elit, dan sok eksklusif. Nah, inilah yang terjadi pada mahasiswa jaman sekarang.
      
      Bukan hal yang baru kalau kita menemui mahasiswa seperti itu di area kampus. Mereka datang dengan kendaraan mewah yang entah milik siapa (mungkin milik orang tuanya). Style baju mereka pun mengalahkan para model. Rok di atas lutut, celana ketat, hem/kaos ketat, dan aksesoris lain yang tidak kalah mencolok. Belum lagi kalau melihat gadget yang mereka bawa. Wow, pasti kita akan takjup. Bisa dipastikan mereka menenteng gadget keluaran terbaru. Tas kampus bukan lagi diisi oleh buku atau diktat kuliah, namun menjadi sarang yang nyaman untuk make up. Itu adalah kondisi di kampus, bagaimana kalau di luar kampus?

      Perpustakaan kampus mulai sepi. Hanya sedikit sekali mahasiswa yang menghabiskan waktu di sana. Mereka tidak mau diberi predikat sebagai kutu buku yang kuno dan tidak mengerti perkembangan jaman. Sebaliknya, mall dan cafe menjadi lokasi favorit mahasiswa kita.

MAHASISWA SEKARANG TERJANGKIT PENYAKIT STAGNAN
      Penyakit stagnan adalah nama penyakit yang saya ciptakan sendiri. Penyakit stagnan adalah penyakit malas berinovasi dan berinisiatif untuk mengembangkan bakat, minat, dan kreatifitas.  Penyakit ini ditandai dengan pola hidup mahasiswa yang hanya menjalankan rutinitas kampus tanpa ada hasrat untuk melakukan hal lain. Istilah populernya ada mahasiswa “kupu-kupu”, sebuah julukan yang dilekatkan untuk mahasiswa yang hanya kuliah-pulang saja.

      Mengapa mahasiswa bisa terjangkit penyakit tersebut? Mereka terlalu terpatok pada target lulus tepat waktu sehingga menganggap bahwa kuliah dan mengerjakan tugas adalah kegiatan yang harus didahulukan dari apapun. Mereka tidak peduli kalau kemampuan afektif dan psikomotorik juga perlu diasah sebagaimana kemampuan kognitif.
      
      B. KONTRIBUSI MAHASISWA??
      Bila melihat kondisi mahasiswa jaman sekarang, apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Ada. Namun kita harus melihat dari dua sisi yang berbeda. Kita tahu bahwa tidak semua mahasiswa berpola hidup hedonisme dan terjangkit penyakit stagnan. Masih banya mahasiswa yang berdedikasi untuk mengemban tanggung jawab mereka dalam memajukan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan. Mengapa? Sebagai kalangan akademisi, sesungguhnya mereka memikul tanggung jawab untuk melaksanakan amanat pembukaan UUD 1945 alinea 4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

       Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran guru sebagai nahkoda utama dalam proses belajar mengajar. Sayang, ketidaktersediaan tenaga pendidik yang memadai dan ketidakmerataan distribusi guru menjadi batu penghalang untuk mensukseskan upaya tersebut. Kasus yang  terjadi di Kalimantan Barat misalnya. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, provinsi tersebut membutuhkan 7.843 guru. Bila dirinci, sekolah dasar (SD) memerlukan 5.303 orang, sekolah menengah pertama (SMP) 2.713 orang, sekolah menengah atas (SMA) 1.472  orang, sekolah menengah kejuruan (SMK) 92 orang, madrasah tsanawiyah (MTs) 290 orang,  dan madrasah aliyah (MA) sebanyak 123 orang (kompas.com, 11/12/2011).

      Adapun masalah yang terjadi di Sulut sebenarnya bukan pada ketersediaan jumlah guru, melainkan pada distribusinya. Daerah kota memiliki lebih banyak guru dibandingkan di pelosok-pelosok. Berdasarkan data yang dilansir kemendikbud (kemendiknas sekarang), sekitar 76% sekolah di kota kelebihan guru. Sedangkan di desa dan pelosok kekurangan tenaga pengajar sebesar 83% (klikmanado.com, 2/5/2012)

      Masalah yang sama juga terjadi di Jawa Tengah. Di propinsi tersebut, teradi kekurangan jumlah guru yang hampir terjadi di 35 kabupaten/kota. Akibatnya, banyak guru SD/MI yang terpaksa mengajar di kelas I dan II. Ada pula guru SD/MI yang merupakan guru bantu dari SMP lain. Tercatat kekurangan guru SD/MI di Grobokan mencari 1500 orang, Batang 1000 orang, dan Pati 1500 orang (suaramerdeka.com, 17/6/2012). Padahal, jumlah guru di daerah lain malah sebaliknya. Terjadi penumpukan jumlah guru. Di Surabaya misalnya, terdapat kelebihan guru SMP sebanyak 347 orang (seputar-indonesia.com, 12/1/2012). 
      
      Minimnya angka ketersediaan tenaga pengajar berdampak besar pada proses belajar mengajar di kelas. PBM tidak bisa berjalan optimal. Pertama, seorang guru tidak akan mampu mengajar untuk seluruh pelajaran karena keterbatasan kompetensi yang dimiliknya. Akibatnya, kelas sering kosong dan banyak materi yang tidak diajarkan. Kedua, jika di suatu sekolah ada banyak siswa dan kelas, maka dia pun tidak akan sanggup mengajar di semua kelas tersebut karena keterbatasan waktu. Ketiga, proses transfer ilmu tidak akan optimal karena guru tidak bisa intens memperhatikan dan membina kompetensi setiap siswa.
(Dok.Pribadi)

      Akibatnya adalah penurunan kompetensi siswa secara drastis. Hal tersebut akan terlihat ketika siswa dihadapkan pada situasi ujian, seperti ujian nasional. Akibat PMB yang tidak maksimal, mereka tidak bisa mengerakan soal-soal tersebut. Semuanya akan berujung pada rendahnya tingkat kelulusan siswa. 

      Selain menghambat PBM, keterbatasan jumlah tenaga pengajar juga berdampak pada proses akreditasi sekolah. Sebagaimana persyaratan akreditasi, sebuah sekolah harus memiliki guru yang berkualitas dan memenuhi kuantitas dibandingkan dengan total siswa di sekolah tersebut. Kenyataannya, sekolah-sekolah yang tidak memiliki jumlah guru memadai akan terdepak dari akreditasi. Padahal, akreditasi sangat penting untuk mengetahui tingkat kelayakan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan. Tanpa akreditasi, sebuah sekolah tidak bisa diukur dan ditentukan kualitasnya sehingga mutu penyelenggaraan pendidikan di sana otomatis diragukan.


MANA KONTRIBUSIMU MAHASISWA?

      Bila  kembali pada tanggung jawab mahasiswa untuk berkontribusi dalam memajukan bangsa, sesungguhnya merekalah angin segar atas kerisauan tersebut. Jumlah  mahasiswa yang mencapai angka 4,8 juta pada 2011 dinilai cukup untuk mengatasi minimnya ketersedian guru di beberapa daerah. Tidak hanya kuantitas, kualitas mereka pun cukup memadai. 4 tahun mengenyam pendidikan di bangku kuliah dinilai layak menjadi bekal sebagai pengajar.
   
      Tak ayal  bermunculan beberapa tokoh seperti seperti Anies Baswedan yang membidik mahasiswa untuk turut serta dalam mengajar anak bangsa. Dengan program Indonesia Mengajar-nya, Anies memfasilitasi mahasiswa yang ingin mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Program tersebut ternyata diadopsi oleh beberapa pihak untuk menyelenggarakan program sejenis. Misalnya UI (Universitas Indonesia) Mengajar, UGM (Universitas Gajah Mada) Mengajar, dan Aceh (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) Mengajar. 
                                                                  Indonesia Mengajar (flickr.com)
I
      Belum lagi  program sejenis seperti kemendiknas dengan SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) yang juga setali tiga uang dengan gagasan Anies. Program SM-3T adalah salah satu dari Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia yang ditujukan untuk sarjana pendidikan (yang belum menjadi guru) untuk ditugasmengajarkan selama satu tahun di daerah 3T. Tujuan dari diselenggarakan program tersebut adalah untuk mengatasi kekurangan guru di daerah 3T dan mempersiapkan calon guru profesional (dikti.go.id, 13/10/2011). Semua program tersebut  memiliki tujuan yang sama yaitu membuka jalan yang lebar bagi para mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kecerdasan bangsa.

      Ternyata  program-program tersebut disambut dengan antusias oleh para mahasiswa kita. Terbukti dengan dikirimnya ratusan mahasiswa dan sarjana untuk mengikuti program-program tersebut, misalnya

  •   1. Pada tahun 2010, tercatat 50 orang pengajar muda, yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar, telah dikirimkan ke lima kabupaten, yaitu Bengkalis di Riau, Tulang Bawang di Lampung, Passer di Kalimantan Timur, Majene di Sulawesi Barat, dan Halmahera di Maluku Utara (kompas.com, 4/6/2010).  Adapun pada  2011, tercatat 47 pengajar muda angkatan ketiga telah diberangkatkan (kompas.com, 1/10/2011). 
  •   2. Sebanyak 339 lulusan dari Universitas Negeri Makassar dilepas untuk mengikuti program Sarjana Mendidik. Mereka akan ditempatkan di beberapa daerah seperti Kab. Biak Numfor (Papua), Kab.Manggarai Timur, dan Kab. Sumba Timur di NTT (kompas.com, 11/12/2011) 
  •   3. Tercatat hingga Desember 2011, sekitar 3000 sarjana telah dilepas untuk program Sarjana Mendidik (kompas.com, 26/12/2011)
      Fakta bahwa banyaknya partisipasi aktif dari mahasiswa cukup mengejutkan berbagai pihak. Ternyata mahasiswa tidak hanya bisa berunjuk rasa, namun juga mampu mentransfer pengetahuan yang dimilikinya untuk meningkatkan intelektual siswa dan memperbaiki karakter mereka sesuai dengan amanat pendidikan. Hasilnya, julukan sebagai agent of change pun tidak omong kosong belaka. Kontribusi mereka dalam memajukan bangsa mulai mengembalikan optimisme masyarakat akan pentingnya keberadaan mereka.  

      C. PROFIL MAHASISWA PENGAJAR MUDA (GERAKAN INDONESIA MENGAJAR)
      Berikut saya beri cuplikan singkat tentang beberapa profil pengajar muda dari Gerakan Indonesia Mengajar untuk menumbuhkan rasa semangat berkontribusi memajukan bangsa Indonesia dalam hati kita semua (khususnya mahasiswa). Semoga menginspirasi!

      Adelia Magdalena Sutanto (Pengajar Muda Angkatan I)

      Jurusan/ keilmuan  : Jur. Biologi 2010.
      Kampus                 : Institut Teknologi Bandung-Sekolah Ilmu dan Tegnologi Hayati
       Prestasi/pengalaman organisasi                
       a. Mahasiswa Berprestasi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB 2008
       b. Perwakilan peserta dalam pidato penutupan Young Scientist  Exchange Program di Tokyo Institute of Technology tahun 2009.
       c. Peserta Science and Technology Leadership Association (SteLa) 2009 bertemakan Dual Use Technology from Aeronautica, Nuclear Technology, and Biotechnology Approach.

      Eko Budi Wibowo (Pengajar Muda Angkatan II)
      Jurusan/keilmuan         : Antropologi Sosial 2006
      Kampus                       : UI
      Prestasi/pengalaman organisasi          

  • a. Pendiri organisasi gerakan taktis seperti Gerakan Slayer Orange.
  • b. Koordinator JKAI (Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia) wilayah P.Jawa.
  • c. Penerima beasiswa Eximbank untuk penyelesaian skripsi perbatasan negara di Pulau Mingas

      Veni Ari Jayanti (Pengajar Muda Angkatan III)

    Jurusan/keilmuan         : Komunikasi Media, FISIP 2007
    Kampus                       : UI
    Prestasi/pengalaman organisasi          
    a. Juara III National Call For Paper yang diselenggarakan oleh Pekom UI 2011
    b. Finalis LKTI PKM 2008
    c. Penerima full scholarship YDBP UI (Yayasan Daya Bhakti Pendidikan Universitas Indonesia) dan beasiswa Eka Tjipta Foundation.
    d. Penerima Grant YSEP UI (Young and Smart Entrepreneur Program UI) untuk usaha berbasis kepedulian Sosial.



      Herry Dharmawan (Pengajar Muda Angkatan IV)
      Jurusan/keilmuan         : Aeronotika dan Astronotika 2006
      Kampus                       : ITB
      Prestasi/pengalaman organisasi          
a. Staff Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa (KOKESMA) ITB
b. Sekretaris Jenderal Himpunan Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan (KMPN) ITB
c. Presiden KM ITB 2010-2011


Mahasiswa memang harus kritis dalam menyikapi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Namun, mereka juga tidak boleh menutup mata dari tuntutan masyarakat untuk berpatisipasi aktif dalam pengabdian sosial. Sesungguhnya aksi turun ke jalan atau turun ke kelas sama-sama memberikan kontribusi yang besar terhadap restorasi kehidupan bangsa. Justru yang salah adalah mahasiswa yang tidak melakukan apa-apa.   

_____________________________________________________________________

Sumber Tulisan



¡Compártelo!

0 comments:

Posting Komentar

Buscar

 
BENITORAMIO Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger